Ulasan Drama Bulan Bujur Sangkar
Ulasan Drama "Bulan Bujur Sangkar"
Drama Bulan
Bujur Sangkar ini ditulis oleh Iwan Simatupang, sang sastrawan Indonesia yang
sudah banyak menulis cerpen, naskah drama, puisi, dll. Pada tahun 1957 di
Belanda, naskah ini telah selesai ditulis olehnya. Drama ini mengikuti aliran
eksistensialisme. Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia sebagai individu
yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara
mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Dalam drama ini menceritakan bagaimana keinginan dan kematian itu
sejalan. Apa yang kita inginkan tidak bisa terlepas dari mati. Kebanyakan pembaca karya sastra Iwan Simatupang
dibuat bingung dan tidak mengerti dari buah pikiran yang dituangkannya ini.
Mungkin itu sesuatu yang wajar bila dilihat dari psikologis pengarang,
kesusastraan Iwan memang bermula dari filsafat ilmu yang selalu memunculkan
sesuatu yang baru. Sesuatu yang lain dan terkadang tak sampai pada akal dan
pikiran kita sebagai pembacanya.
Dalam drama ini terdapat empat tokoh,
yaitu orang tua dengan wataknya yang sangat egois namun sangat berpengetahuan luas
namun tak mau menerima realita, juga pemarah. Selanjutnya, anak muda
dengan watak yang pemberani. Tokoh ketiga ialah perempuan, dalam drama ini
perempuan berwatak mudah putus asa. Tokoh terakhir ialah gembala yang mempunyai
watak penakut.
Kisah ini menceritakan
tentang tokoh yang bernama orang tua yang selama hidup akhirnya berhasil
mencapai keinginannya membangun tiang gantung sesuai keinginannya selama ini.
Tokoh orang tua menganggap sebuah tiang gatung itu adalah sebuah penentu
awal dan akhir, apakah kita yang akan dimatikan atau mematikan dalam tiang itu.
Pada hari itu datang pula tokoh anak muda yang heran melihat tiang besar itu
dan menganggap orang tua sebagai musuh. Anak muda mencoba membunuhnya, namun
tokoh orang tua mencoba melawan dengan cara meyakinkan dan mempengaruhi pikiran
anak muda. Keinginan anak muda pun sirna ketika ia mendengarkan dan menafsirkan
kata-kata yang terucap dari mulut orang tua, ia menjadi terpengaruhi bahwa
kehidupan adalah pilihan untuk mati dan dimatikan. Dari pengaruh yang telah
dilakukannya itu tokoh orang tua berhasil menghasut dan membuat anak muda
menjadi pelengkap dari tiang gantungan barunya, menjadi akhir kehidupan bagi
tokoh anak muda.
Berlanjut ke adegan yang ke-2, setelah
terbunuhnya anak muda yang tidak lain merupakan prajurit perang kemudian
datanglah tokoh perempuan yang sedang mencari kekasihnya, bertemu tokoh orang
tua dan bertanya mengenai keberadaan pacarnya. Orang tua yang tak merasa
bersalah menjelaskan keberadaannya bahwa pacarnya telah tiada. Tokoh perempuan
yang tidak bisa menerima keadaan akhirnya bunuh diri dan begitu pula dengan
tokoh orang tua yang juga mengakhiri hidupnya.
Pada naskah drama Bulan Bujur Sangkar mengalami beberapa
keganjilan dalam bentuk dan cara penyampaian makna. Bentuk setting dalam aspek
waktu yang kurang jelas dikarenakan tidak adanya narasi yang mendukung setting
waktu tersebut. Kemudian, setting ruang/tempat penggambarannya kurang pas untuk
divisualisasikan ke dalam panggung karena penggambaran di dalam teks banyak
keganjilan dimana beberapa adegan dilakukan di tempat berbeda dalam waktu yang
sama sehingga menyulitkan bagian artistic yang bertugas sebagai pengatur
setting panggung. Yang
ketiga, dalam kasus ini penelitian keganjilan setting
dianggap penting karena setting memiliki porsi kasat mata yang amat besar dalam
suatu naskah drama untuk menemukan hakikat naskah itu.
Dalam drama ini kerap berisi kritik. Terutama, dalam
kehidupan manusia modern yang suka memuja pikiran atau logika, sehingga
mengabaikan hati nurani. Bahkan religi. Di ujung cerita, sang tokoh utama
akhirnya bunuh diri karena tak tahan menanggung tekanan. Adegan ini bermakna
perlu ada perubahan cara pandang terhadap logika dan mengakui di atas pikiran
ada kekuasan yang lebih besar: kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Naskah Bulan Bujur Sangkar ini mempunyai cerita yang bagus, dan
bahasanya ada yang sukar dipahami. Setelah dibaca berkali-kali baru bisa
mengeri maksud dari isi drama ini. Naskah ini menceritakan seorang orang tua
dengan segala keegoisannya dan menganggap membunuh adalah sebuah karya seni.
Lebih mengutamakan logika dan tak mau menerima realita.
Comments
Post a Comment